Pengaturan Terhadap Illegal Logging Sebagai Kejahatan Ekonomi

Pengaturan Terhadap Illegal Logging Sebagai Kejahatan Ekonomi

BANDAR LAMPUNG, INDONESIA RI – Update Unila,
Oleh BUDI KURNIAWAN TYMBASZ
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Lampung.
Kejahatan ekonomi sering diidentikan dengan pelaku tindak pidana yang memiliki kapasitas serta status sosial pada masyarakat, modus yang mereka lakukan tergolong lebih unik baik dengan cara melakukan kompromi terhadap oknum pada suatu instansi yang berwenang, maupun menggunakan pengaruh yang mereka miliki, serta sering juga kejahatan yang mereka lakukan tersebut sulit untuk buktikan dikarenakan sudah terorganisir. Selain itu dampak yang ditimbulkan dari kejahatan ekonomi bersifat masif, memiliki jangkauan yang luas, bahkan dapat merugikan perekonomian negara serta masyarakat. Pada praktiknya penanggulangan terhadap kejahatan ini sangat menyulitkan dalam kegiatan penyedikan maupun penuntutan, sehingga para pelaku tidak seluruhnya dapat diungkap.
Berdasarkan laporan PBB Ke-VI Tentang The Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders (Pencegahan Kejahatan Dan Penanggulangan Pelaku Kejahatan) di Caracas tahun 1980, telah mengidentifikasikan bentuk-bentuk penyimpangan ekonomi, sebagai berikut:
1. Mengelakkan pengenaan pajak;
2. Penipuan bea-cukai dan kredit;
3. Korupsi dana publik;
4. Penggelapan dana-dana negara;
5. Pelanggaran peraturan mata uang;
6. Spekulasi dan menipu dalam transaksi pertahanan;
7. Kejahatan lingkungan;
8. Melampaui batas penetapan harga;
9. Melebihi batas faktur;
10. Pemerasan tenaga kerja;
11. Import dan ekspor barang mewah di bawah standar dan bahkan berbahaya.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa ilegal loging sebagai salah satu bentuk dari kejahatan lingkungan dapat juga digolongkan menjadi kejahatan ekonomi.
Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun yang menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat mencapai 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadi salah satu faktor penyebab Indonesia sebagai salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia.Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat pada tahun 2000 terdapat sekitar 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar yang berada dalam kawasan hutan. Hal ini dikuatkan oleh laporan World Resource (2005) yang dimuat pada Koran Harian Kompas yang melaporkan bahwa, dalam kurun waktu 20 tahun kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 43 juta hektar atau setara dengan seluruh luas gabungan Jerman dan Belanda.
Sehingga dalam hal ini Negara sangat dirugikan yang mana dapat mencapai Rp 45 trilyun per tahun. Setiap tahunnya kerusakan hutan di Indonesia yang disebabkan oleh illegal logging mencapai 1,6 juta hingga 2,4 juta hektar. Sedangkan menurut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) konservasi lingkungan, Wetlands International, ada sekitar 48% lahan gambut di Indonesia yang telah dirusak, dan juga sebagian besar pengrusakan tersebut disebabkan oleh penebangan hutan secara liar. Bahkan dari pembersihan sampah dalam penebangan liar di lahan gambut saja, Indonesia menghasilkan sekitar 632 juta ton CO2 setiap tahunnya. Dampak dari kerugian ekonomi yang telah ditanggung oleh Negara dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti yang bernama David W. Brown yaitu seorang pengamat ekonomi kehutanan dari Departement For International Development (DFID), ia mengkalkulasikan kerugian finansial yang ditanggung oleh pemerintah akibat perdagangan kayu liar (illegal timber trading) adalah sebesar US $ 1,632 milliar per tahun dan juga kerugian akibat penebangan liar (illegal logging) di Indonesia mencapai US $ 5,7 miliar per tahun. Angka tersebut diperoleh dari perhitungan 68 juta meter kubik kayu illegal yang dikonsumsi pabrik kayu dalam negeri untuk diolah senilai US $ 4,08 miliar dikalikan dengan pajak yang harus dibayar setiap meter kubik kayu, sebesar US $ 24.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pembalakan liar adalah sebuah kejahatan yang tak terkirakan. Setiap menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 hektar musnah akibat penebangan yang merusak (destructive logging). Selanjutnya Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan illegal senilai 30,42 trilyun rupiah per tahun belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis, serta nilai sosial dari bencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat pengrusakan hutan. Kejahatan di bidang lingkungan diketagorikan sebagai tindak pidana ekonomi, tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan melainkan oleh korporasi, karena itu dinamakan corporate crime, yang lingkup operasi dan dampaknya meliputi wilayah antar negara.
Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya” Tindak pidana illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirumuskan dalam Pasal 50 dan ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78. Kemudian yang menjadi dasar adanya perbuatan illegal logging adalah karena adanya kerusakan hutan. Unsur-unsur tindak pidana yang terkait dengan kegiatan illegal logging dalam undang-undang diatas antara lain :
Pertama, perbuatan tersebut baik secara sengaja maupun dikarenakan kelalaian dapat mengakibatan kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus mengatur pada kawasan suaka alam dan juga taman nasional, taman hutan raya serta taman wisata. Kedua, perbuatan baik sengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan memelihara, mengangkut, memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan. Namun ketentuan tersebut khusus untuk mengatur hasil hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan (penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU No.5 Tahun 1990).
Ilegal loging sangat berdampak terhadap keadaan ekosistem di Indonesia. Penebangan tersebut dapat memberikan dampak yang sangat merugikan masyarakat sekitar, bahkan masyarakat dunia. Kerugian yang dapat diakibatkan oleh kerusakan hutan tidak hanya kerusakan secara nilai ekonomi, akan tetapi juga mengakibatkan hilangnya nyawa yang tidak ternilai harganya. Berikut adalah beberapa dampak yang dapat ditimbulkan dari tindakan ilegal loging:
Pertama, dampak yang sudah mulai terasa sekarang ini adalah pada saat musim hujan wilayah Indonesia sering dilanda banjir dan tanah longsor. Kedua, Illegal Logging juga mengakibatkan berkurangnya sumber mata air di daerah perhutanan. Pohon-pohon di hutan yang biasanya menjadi penyerap air untuk menyediakan sumber mata air untuk kepentingan masyarakat setempat, sekarang habis dilalap para pembalak liar. Ketiga, semakin berkurangnya lapisan tanah yang subur. Lapisan tanah yang subur sering terbawa arus banjir yang melanda Indonesia. Akibatnya tanah yang subur semakin berkurang. Keempat, Illegal Logging juga membawa dampak musnahnya berbagai fauna dan flora, erosi, konflik di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu, hilangnya mata pencaharian, dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari sektor kehutanan, kecuali pemasukan dari pelelangan atas kayu sitaan dan kayu temuan oleh pihak terkait.
Ketentuan hukum pidana yang dapat diberlakukan terhadap pelanggaran illegal logging, melalui penerapan sanksi menurut UU yaitu bedasarkan Pasal 18 PP No. 28 Tahun 1985 dan Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Dengan kata lain, barang siapa dengan sengaja memanen, menebang pohon, memungut, menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan, diancam dengan hukuman penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
INA/ Red

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *